Friday, December 13, 2013

Curhat.

Cuma ingin mengungkapkan/mengomentari hmm curhatlah intinya. Hehe.

Sebenarnya, aku lebih suka hidup teratur. Bukan selalu harus terjadwal tapi tentang paying more attention pada hal-hal sepele. Kalau baru masuk kamar, langsung cuci kaki; Habis dipakai, kerudung langsung dilipat; Habis makan, saos dan kecap ditaro di tempatnya dan piring langsung dicuci; Mencuci baju secara rutin dan tidak nunggu menumpuk atas alasan tidak ada waktu; Jaket setelah dipakai langsung digantung kemudian lipat; Kalau dapat tugas, langsung dikerjakan hari itu juga. Intinya sih nggak numpukin tugas dan menunggu H-1 deadline; dan banyak lagi.
Kalau ngelakuin itu semua, serasa ada kepuasan buat diri sendiri. Harusnya bukan 'puas' ya? Entah. Emang begitu rasanya.

Aku lemah dalam hal public speaking. Aku cukup benci fakta ini. Sebagai seorang calon perencana, skill ini seharusnya aku miliki. Menurut kakak tim litbang himpunan mahasiswa, aku sudah berkembang sebenarnya dari awal aku test open recruitment. Aku sudah mulai bisa bicara di depan publik. Cuma, aku masih merasa kurang sekali dan tertinggal dari temanku yang lain. Sebelum aku maju untuk mempresentasikan suatu hal, dalam otak ini semua telah terorganisir dan aku tahu apa yang harus dibicarakan dan mulai dari mana. Namun, ketika sudah berada menghadap orang banyak, semua berbeda. Apa yang aku susun tiba-tiba pergi ntah kemana.

Aku tidak suka diwawancara. Ketika kamu ditanyai secara terus menerus mengenai suatu hal atau dirimu, ntah kenapa aku merasa tidak nyaman. Ada sedikit rasa takut. Padahal..... Apa yang harus ditakutkan? Ya pertanyaan itupun ditanyakan pula oleh dosen waliku ketika aku bercerita mengenai test beasiswaku yang tersendat di tahap akhir, ya tahap wawancara. Beliau berkata bahwa wawancara adalah momen dimana kamu 'menjual' diri kamu dan sebagai perencana, aku perlu menguasai hal itu dengan baik. Aku mulai tidak menyukai wawancara sejak pertama kali test AFS, semacam program pertukaran pelajar keluar negeri. Apa yang ditanyakan hanya terkait diriku dan hal-hal remeh sehari-hari. Sekali lagi, aku hanya merasa aneh diperlakukan seperti itu. Satu-satunya tes wawancara yang cukup lancar aku lakukan adalah ketika oprec himpunan mahasiswa. Mungkin karena pewawancara adalah senior yang hanya berbeda satu tahun di atas aku. Aku cukup menyesal dengan tes wawancara beasiswaku yang terakhir kali aku lakukan. Test beasiswa yang pada tahap pertama diikuti oleh ribuan mahasiswa dari seluruh Semarang dan sekitarnya dan kemudian hanya lolos 80 orang. Aku termasuk kedalam 80 orang itu. Test berlanjut pada tahap dua yang dibagi menjadi dua sesi dan merupakan tahap penentuan lolos atau tidaknya sebagai penerima beasiswa. Salah satu sesi itu adalah wawancara. Aku pun merasa bahwa apa yang aku lakukan pada sesi itu tidak maksimal, aku gugup dan takut. Diwawancarai seorang psikolog muda yang mimiknya cukup serius membuat aku seperti diintrogasi oleh polisi. Ya.. Hasilnya adalah aku bukan termasuk dari 22 orang yang beruntung menjadi penerima beasiswa itu. (Namun, aku yakin, keberuntunganku memang bukan di jalan itu :])


Yap. Curhat kali ini aku tutup. 
Ciao!

No comments:

Post a Comment