Centang bertambah satu di to-do-list before I die.
Abroad.
YEAY! No..no.. Bukan liburan sih. Semi-liburan lebih tepatnya.
14 April 2014 kemarin aku bersama angkatanku Kuliah Kerja Liburan Lapangan ke negara sebelah, Malaysia dan Singapore.
KKL itu semacam study tour gitu kalo pas masih sekolah. Akan ada kunjungan ke instansi buat tahu lebih banyak tentang perencanaan di negara tersebut.
Mulai dari instansi terkait perumahan, pedesaan, transportasi, pengelola air minum, universitas setempat, kawasan kantor pemerintahan dan sisanya kunjungan ke objek wisata hihi.
14-17 April kami berada di Malaysia, di kota Kuala Lumpur dan Johor. Kuala Lumpur bisa dibilang lebih berkembang dibandingkan Jakarta sebagai ibukota negara. Mulai dari bentuk bangunan yang ada, kebersihan, bangunan pusat perbelanjaan dan tentunya, perencanaan kotanya. Di Kuala Lumpur berjalan kaki itu nyaman. Adanya jalur pejalan kaki yang nyaman dan atraksi yang bikin orang-orang makin tergugah buat jalan kaki. Contohnya di Bukit Bintang, sebagai pusat komersial, berjalan mengelilingi kawasan ini pun mungkin nggak bakal cepat lelah. Ada pedestrian ways yang di kanan kiri bisa sight-seeing produk atau sekedar mencicipin kudapan ringan yang ada di sepanjang jalan. Siapa saja yang berjalan di sini? Hampir setiap jenis orang mungkin aku temukan. Mulai dari yang dewasa sampai anak-anak, yang berpakaian nonformal sampai yang berdasi, dari yang pakai flat shoes sampai heels, dari yang pribumi sampai asing, bahkan ada manula berkursi roda masih bisa menikmati keramaian pusat kota. Sedangkan Johor itu lebih sepi dibandingkan dengan Kuala Lumpur, namun tetap dapat dibilang nyaman walau panas hehe.
17-18 April berada di Singapura merasa tidak puas sekaliii. Selain waktunya yang pendek, tidak tersusunnya jadwal di sana membuat ada rasa kecewa. Lupakan kekecewaan itu haha. Singapura bersih, yap bisa dikatakan begitu. Seperti kata orang. Kesan pertama? Pencakar langit dimana-mana. Lahan yang terbatas membuat mereka harus melakukan pembangunan ke atas. Kondisi ini akhirnya membuat kesan tersendiri bagi kota singa.
Selama di Malaysia, masih terasa seperti di rumah. Orang berbahasa Melayu dan wajahnya masih berkarakteristik mirip orang Indonesia. Tour guide kami pun berbahasa Indonesia sangat fasih, bukan Melayu, walau memang masih ada sedikit aksen yang terbawa. Ketika berbelanja pun tidak harus untuk berbicara Bahasa Inggris atau Melayu yang fasih. Aku pikir kondisi ini akan berubah ketika di Singapura. Ternyata tidak sedrastis itu perubahan yang ada haha. Memang, ketika di instansi, kami full menggunakan Bahasa Inggris. Namun ketika berbelanja.. Masih sama seperti di Indonesia haha.
Ada dua cerita yang cukup bikin geli diri sendiri sih sebenarnya. Pertama, pas beli oleh-oleh di Bugis Junction Singapura dengan si penjual toko yang semuanya berwajah oriental. Oke saatnya menggunakan Bahasa Inggris. Nadia, temanku, menanyakan tentang barang yang dijual di sana. “10 dollars for all of it and the same ite....” belum selesai Nadia bertanya, penjual menjawab, “Pokoknya semuanya 10 dollars, boleh campur.” *ANTIKLIMAKS*
Kedua, ketika membeli makan malam di kawasan India (Farrer Park), aku dan teman-temanku masuk ke rumah makan kecil yang menjual makanan India. Menu yang dipampangkan menggunakan Bahasa Inggris, yang mengantre di depanku pun orang bule barat yang berbahasa Inggris. Jadilah aku akhirnya terpengaruh atmosfer dan dengan pengetahuan terbatas (Singapura = You Should Speak in English!), memesan makanan dengan Bahasa Inggris.
Pemilik Toko yang Mukanya India (P): Order?
U: Yes, one chicken briyani and two tea. (Dengan aksen Indonesia banget.)
P: Oke. Makan di sini?
U:.................................................................Iya.
*ANTIKLIMAKS* *PART 2*
Yasudahlah. Akhirnya kami makan dengan damai.
Mungkin saking banyaknya orang Indonesia yang sering melancong ke negara-negara itu, sehingga mereka pun beradaptasi. Kultur Melayu pun menjadi alasan yang tidak mungkin terlepas, sih. Kalau berbelanja pun mereka bisa menerima rupiah
Kejadian sok-tahu pun terjadi di Singapura.
Rencananya, malam itu, kami diinstruksikan oleh tour leader bahwa akan ke Farrer Park untuk makan dan kemudian berbelanja di Little India yang beroperasi 24 jam. Sejak sampai di Singapura aku langsung mencari brosur yang memiliki peta atau rute MRT. Berdasarkan brosur yang aku dapat, Farrer Park berada satu stasiun setelah Little India. Nadia pun menangkap hal yang sama sepertiku, bahwa kami akan berbelanja di Little India yang berada di brosur MRT.
Setelah makan malam di Farrer Park, aku bersama Nadia dan Juan naik MRT untuk ke Little India dengan tujuan berbelanja. Semua serba buru-buru, jam sudah menunjukan pukul 22.15 waktu setempat dan berdasarkan yang kami tahu, MRT akan berhenti beroperasi pukul 23.00 atau jika tertinggal MRT, kamu harus naik taksi. Kami lari kecil di sepanjang koridor. Setelah keluar stasiun Little India yang kami lihat hanya segelintir orang berwajah India yang sedang menutup toko. Kami berjalan cepat hingga melewati sekitar 3-4 blok namun yang kami dapatkan tetap toko yang sudah mulai tertutup. Mana Little India yang buka hingga 24 jam? Akhirnya kami terpaksa bertanya ke polisi setempat. Berdasarkan info yang kami dapatkan, toko oleh-oleh yang buka 24 jam adalah di Mustafa Center. Tebak dimanakah Mustafa Center? Yeah. Di Farrer Park, tepat di lokasi aku makan malam. Hell yeah. Akhirnya kami berlari menuju stasiun untuk membeli tiket MRT lagi untuk kembali ke Farrer Park. Untung saja MRT masih beroperasi.
Di sana kami langsung berlari masuk ke lantai dua untuk membeli coklat dan lainnya.
Thanks God! Yah walaupun muter-muter, tapi akhirnya bisa sampai lokasi yang dituju.
Ntah bagaimana, ternyata tour leader kami memang menyebut Mustafa Center sebagai Little India, walaupun bukan Little India yang sesungguhnya. Cukup menyesatkan.
Di sana pun akhirnya aku bertemu Mas.
Aku ceritakan kronologisnya.
Sepanjang jalan sejak berangkat ke Farrer Park aku berkata kecil di dalam hati, “Ntah bagaimana caranya, paling tidak pertemukan aku dengan dia.”
Selama aku di perjalanan ini, jarang sekali untuk bisa bertemu dengannya karena berada di rombongan yang berbeda. Apalagi terhalangi alat komunikasi yang roaming. Komunikasi hanya bisa lewat telepon hotel atau telepati. Ya begitulah. Ada rasa bahagia kalau rombongan kami bertemu, ntah di tempat makan, rest area atau lainnya. Walau kadang hanya melihat dari jauh, tanpa ada bincang panjang.
Ketika malam itu ada sedikit insiden yang membuat kita jarang bicara antara satu sama lain ketika sebelum kami makan malam di Farrer Park. Awalnya dalam bayanganku kami akan pergi bersama, setidaknya membayar waktu-waktu kemarin dan menepati kesepakatan untuk membeli coklat bersama. Tapi nyatanya sejak perjalanan menuju Farrer Park kami sudah terpisah, dia jauh berada di belakang. I said, “There’s no way back, Ti. Or you will be late and splitted from this group and then you’ll lost in nowhere.” Agak menyesal kenapa harus ada insiden itu hahaha.
Ntahlah kebetulan macam apa. Setelah terpisah sejak di stasiun keberangkatan dan hari sudah dipenghujung malam, tiba-tiba aku bertemu dengannya di pusat perbelanjaan, tepat di rak coklat. Aku langsung spontan berkata, “Kamu kemana aja, dicariin juga.” Di depan teman-temanku. Padahal sebelumnya aku berkata begitu, agak malu hehe. Dia bilang, dia juga mencariku. Sesederhana itu untuk memperbaiki keadaan. Jangan gengsi sih intinya
Walaupun ada kekecewaan tetapi hari-hari itu cukup menyenangkan. Membuat aku kembali mencentang listku hihi. I am so much blessed! :> Thanks Allah.
No comments:
Post a Comment